Amanah

At-taqwa/Kamis (18/4) mengadakan kajian rutin badha maghrib seperti minggu-minggu lainnya, bertemakan Amanah. tema ini disampaikan oleh Dr. H. Moh. Nur Hakim. M. A
Tema ini sangat relevan dengan kondisi kita saat ini Yang kemarin baru saja kita adakan pemilu. Amanah berasal dari bahasa Arab آمن يؤمن. Yang berarti aman. Kita akan mengkaji makna sesuai dengan Al-Qur’an Dan Hadist.
Di dalam Al-Qur’an disebutkan dalam surah al -ahzab 72 : إن عرضنا الأمانة على السموت والأرض والجبال
فأبين أن يحملنها وأشفقن منها وحملها الإنسان
إنه كان ظلوما جهولا
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.
Ketika kita ingin masuk surga, mintalah dengan sungguh-sungguh, tidak hanya surga biasa tetapi surga firdaus . Mari kita contoh rasulullah sebagai panutan kita, beliaulah ad-dzal al amanah. Tidak pernah mengingkari amanah. Bahkan sahabat nabi, Abu sufyan ketika belum masuk Islam ia telah mempercayai nabi bahwa nabi adalah orang Yang tidak pernah berkhianat. Beberapa keutamaan amanah adalah ia merupakan bukti keimanan kita. Seperti Yang dijelaskan oleh rasulullah dalam hadistnya, kepada para sahabat beliau bertanya “maukah kalian ku beri tahu ciri mu’min Yang sungguh-sungguh, harta Dan jiwa raganya aman bersama mu’min tersebut.
لا إيمانا لمن لا أمانة له، ولا دينا لمن لا إعاد له.
لا عليك لما فاتك من الدنيا:
ذو أمانة
صدق حديت
حسن خليقة
عفة
الأمين أهل المسؤلية
Beberapa kisah Yang diabadikan di dalam Al-qur’an diantaranya Kisah nabi Syuaib Yang memiliki 2 anak menggembala kambing ditolong nabi Musa, 2 anak nabi syuaib lapor kepada ayah handa, wahai bapakku Jadikan ia pembantu kita. Sesungguhnya dia orang Yang paling baik kita jadikan pembantu kita. Dan Sesunggunya dia berhak mendapatkan amanah.
Apa saja Yang harus kita amanahi:
1. Amantu tauhid أمانة التوحيد
ألست بربّكم؟ قالوا بلى شهدنا
Bukankah aku rabbmu, mereka mengatakan benar demikian. Hanya saja orangtua Yang menjadikan mereka tetap Muslim, musyrik dsb. Tergantung dengan lingkungannya
Seperti Yang disebutkan dalam hadist nabi:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”
2. أمانة الدعوة
Hal ini sangat penting, karena tidak semua melaksanakan demikian. Jika kita melihat kemungkaran dimana saja, bahkan dirumah kita sendiri, hendaklah merubahnya dengan tangannya sendiri/dengan kekuasaannya.
عن أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان

وفي رواية : ليس وراء ذلك من الإيمان حبة خردل
Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)

Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)”

Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan syari’at terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.” (Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427)

Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:

Mengingkari dengan tangan.
Mengingkari dengan lisan.
Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.

Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.

Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.” (Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185)

Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.

Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.

Imam Ibnu Rajab berkata -setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits yang senada dengannya-, “Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258)

Lisan bisa juga bermakna tulisan, jika kita tidak memiliki media untuk menyampaikan, maka bisa dengan tulisan kita.
Wallohu a’lam bissowab

Referensi:
1.Disarikan dari kajian rutin Masjid At-taqwa kota Batu
2.https://tafsirweb.com/7684-surat-al-ahzab-ayat-72.html